Sejarah
Perkembangan Drama
• Drama
Klasik
Yang
disebut drama klasik adalah pada zaman Yunani dan Romawi. Pada masa kejayaan kebudayaan Yunani dan Romawi
banyak sekali karya dramayang bersifat abadi, terkenal sampai kini.
Drama
Yunani
Asal mula
drama adalah kultus Dyonesos. Pada waktu itu, drama dikaitkan dengan upacara
penyembahan kepada dewa, dan disebut tragedi. Kemudian tragedi mendapat makna
lain, yaitu perjuangan manusia melawan nasib.
Komedi
sebagai lawan kata dari tragedi, pada zaman Yunani Kuno merupakan karikatur
cerita duka dengan tujuan menyindir penderitaan hidup manusia. Ada tiga tokoh
Yunani terkenal, yaitu Plato, Aristoteles, dan Sophocles. Menurut Plato,
keindahan bersifat relatif. Karya seni dipandangnya sebagai mimetik, yaitu
imitasi dari kehidupan jasmaniah manusia. Imitasi menurut Plato bukan demi
kepentingan imitasi itu sendiri, tetapi demi kepentingan kenyataan.
Karya
Plato yang terkenal adalah “The Republic”.
Aristoteles
juga tokoh Yunani yang terkenal. Ia memandang karya seni bukan hanya imitasi
kehidupan fisik, tetapi harus juga dipandang sebagai karya yangmengandung
kebajikan dalam dirinya. Dengan demikian karya-karya itumempunyai watak
tertentu.
Sophocles
adalah tokoh drama terbesar zaman Yunani. Tiga karyanya yang merupakan tragedi,
merupakan karyanya bersifat abadi, dan temanya relevan sampai saat ini.
Dramanya adalah "Oedipus Sang Raja", "Oedipus", dan "Antigone".
Tragedi tentang nasib manusia yang mengenaskan. Dari karyanyabentuk tragedi
Yunani mendapatkan warna khas.Sedang Aristophanes, adalah tokoh komedi dengan
karya-karyanya “The Frogs”, “The Waps”,
“The Clouds”.
Drama
Zaman Romawi
Terdapat
tiga tokoh drama Romawi Kuno, yaitu Plutus, Terence, atau Publius Terence Afer,
dan Lucius Seneca. Teater Romawi mengambil alih gaya teater Yunani. Mula-mula
bersifat religius, lama-lama bersifat mencari uang (show biz). Bentuk pentas
lebih megah dari zaman Yunani.
• Drama
Abad Pertengahan
Pengaruh
gereja Katolik atas drama sangat besar pada zaman pertengahan ini. Dalam
pementasan ada nyanyian yang dilagukan oleh para rahib dan diselingi dengan
koor. Kemudian ada pagelaran "Pasio" seperti yang sering dilaksanakan
di gereja menjelang upacara Paskah sampai saat ini.
Ciri khas
drama abad Pertengahan, adalah sebagai berikut:
1. pentas
kereta,
2. dekor
bersifat sederhana dan simbolis,
3.
pementasan simultan bersifat berbeda dengan pementasan simultan drama modern.
Zaman
Italia
Istilah
yang populer dalam jaman Italia adalah Comedia del 'Arte yang bersumber dari
komedi Yunani. Tokoh-tokohnya antara lain Dante, dengan karya-karyanya ”The
Divina Comedy”, Torquato Tasso dengan karyanya drama-drama liturgis dan
pastoral, dan Niccolo Machiavelli dengan karyanya “Mandrake”.
Ciri-ciri
drama pada zaman ini, adalah sebagai berikut:
1.
improvisatoris atau tanpa naskah
2.
gayanya dapat dibandingkan dengan gaya jazz, melodi ditentukan dulu, baru
kemudian pemain berimprovisasi (bandingkan teater tradisional diIndonesia),
3. cerita
berdasarkan dongeng dan fantasi dan tidak berusaha mendekatikenyataan,
4. gejala
akting, pantomime, gila-gilaan, adegan dan urutan tidak
diperhatikan.
Komedi
Italia meluas ke Inggris dan Nederland. Gaya komedi Italia ini di Indonesia
kita kenal dengan nama "seniman sinting" atau "seniman
miring" dengan tokoh antara lain Marjuki (Drs.). Dibandingkan dengan drama
Yunani, maka pada zaman Italia ini
materi cerita disesuaikan dengan adegan yang
terbatas itu. Trilogi Aristoteles mendapat perhatian. Tokoh-tokoh pelaku dalam komedi Italia mirip
tokoh-tokoh cerita pewayangan, sudah
dipolakan yaitu:
·
Arlecchino (The Hero, pemain utama),
·
Harlekyn (punakawan/badut/clown), Pantalone (ayah sang gadis lakon),
· Dottere
(tabib yang tolol),
·
Capitano (kapten perebut gadis lakon),
·
Columbina (punakawan putri),
· Gadis
lakon (primadona yang menjadi biang lakon)
Zaman
Elizabeth
Pada awal
pemerintahan Raru Elizabeth I di Inggris (1558-1603), drama berkembang dengan
pesatnya. Teater-teater didirikan sendiri atas prakarsasang ratu. Shakespeare,
tokoh drama abadi adalah tokoh yang hidup pada jaman Elizabeth.
Ciri-ciri
naskah drama jaman Elizabeth, adalah:
1. naskah
puitis,
2.
dialognya panjang-panjang,
3.
penyusunan naskahnya lebih bebas, tidak mengikuti hukum yang sudahada,
4. laku
bersifat simultan, berganda dan rangkap,
5.
campuran antara drama dan humor.
Tokoh
besarnya adalah William Shakespeare (1564-1616), dengan karya karyanya
“The
Taming of the Schrew”, “Mid Summer Night Dream”, “King
Lear”,
“Anthony and Cleopatra”, “Hamlet”, “Macbeth”, dan sebagainya. Hampir semuanya
telah diterjemahkan oleh Trisno Sumardjo, Muh. Yamin, dan Rendra.
Perancis
(Moliere dan Neoklasikisme)
Tokoh-tokoh
drama di Perancis antara lain Pierre Corneille (Melite, Le Cid), Jean Raccine (Phedra), Moliere, Jean Baptista
Poquelin (Le Docteur Amoureux/The Love Sick Doctor, LesPreciueuses
Rudicules/The Affected Young Lady, dan lain-lain), Voltaire (dengan filsafat
dan karyanya yang aneh), Denis Diderot (Le
Per De Famille dan Le Fils Naturel), Beaumarchais (La Barbier De Seville/Barber
of Seville, Le Mariage de Fogaro/The Marriage of
Fogaro).
Jerman
(Zaman Romantik)
Tokoh-tokohnya
antara lain Gotthol Ephraim Lessing (Emilia Galotti, Miss Sara Sampson, dan
Nathan der Weise), Wolfgang von Goethe(Faust), Christhop Friedrich von Schiller
(The Robbers, Love and Intrique, Wallenstein, dan beberapa adaptasi dari
Shakespeare).
Drama
Modern
Dalam
bagian ini akan dijelaskan perkembangan drama modern di beberapa negara yang
melanjutkan kejayaan tradisi pementasan dan penulisan drama yang telah dimulai
pada jaman Yunani Kuno. Akan dikemukakan tokoh drama seperti Ibsen (Norwegia),
Strindberg (Swedia), Bernard Shaw (Inggris), tokoh dari Irlandia, Perancis,
Jerman, Italia, Spanyol, Rusia, dan terakhir Amerika Serikat yang menunjukkan
perkembangan pesat. Semua ini sekedar informasi untuk memperluas cakrawala
pengetahuan kita di Indonesia tentang
perkembangan
drama di luar Indonesia.
Norwegia
(Ibsen)
Tokoh
paling terkemuka dalam penulisan drama di Norwegia adalah Henrick Ibsen
(1828-1906). Karyanya yang paling terkenal dan banyak dipentaskan di Indonesia
adalah "Nora", saduran dari terjemahan Armyn Pane "Ratna". Karya-karya
Ibsen adalah “Love's Comedy”, “The Pretenders”, “Brand and Peer Gynt” (drama
puitis), “A doll's House”, “An Enemy of the people”, “The Wild Duck”, “Hedda
Gableer”, dan “Roshmersholm”. Ibsen tidak memberikan
karakter
hitam putih, tetapi tokoh penuh tantangan, watak yang digambarkan kompleks
dengan penggambaran berbagai segi kehidupan manusia. Dialognya dengan gaya prosa yang realistis
dengan menekankan mutu percakapan dan bersifat realistis. Gagasan yang
dikemukakan dapat membangkitakan gairah dan memikat perhatian. Problem yang di
angkat dapat menjadi lelucon drama yang besar dan diambil dari problem yang
timbul dalam masyarakat biasa.
Swedia
(August Strindberg)
Tokoh
drama paling terkenal di Swedia adalah Strindberg (1849-1912). Karyakarya drama
yang bersifat historis dari Strindberg di antaranya adalah “Saga of the
Folkung” dan “The Pretenders”. “Miss Julia” dan “The Father” adalah drama
naturalis. Drama penting yang bersifat ekspresionistis adalah “A Dream Play”,
“The Dance of Death”, dan “The Spook Sonata”.
Inggris
(Bernard Shaw dan Drama Modern)
Tokoh
drama modern Inggris yang terpenting (setelah Shakespeare) adalah George
Bernard Shaw (1856-1950) . Ia dipandang ssebagai penulis lakon terbesar dan
penulis terbesar pada abad modern. Di Ingris Bernard Shaw memenduduki peringkat
kedua setelah Shakespeare. Karya-karyanya antara lain adalah “Man and
Superman”, “Major Barbara”, “Saint Joan”, “The Devil's Disciple”, dan “Caesar
and Cleopatra”.
Tokoh
drama modern di Inggris yang lain adalah James M. Barrie (1860-1937), dengan
karya “Admirable Crichton”, “What Every Woman Knows”, “Dear Brutus”, dan “Peter Pan”. Noel Coward
dengan karya “Blithe Spirit”. Somerest
Mugham dengan karya “The Circle”. Christoper Fry dengan karyakaryanya “A Phoenic Too Frequent”, “The Lady's Not for
Burning”.
Irlandia (Yeats sampai O'Casey)
Tokoh
penting drama Irlandia Modern adalah William Butler Yeats yangmerupakan
pemimpin kelompok sandiwara terkemuka di Irlandia dan Sean O'Casey (1884)
dengan karyanya “The Shadow of a Gunman”, “Juno and the Paycock”, “The Plough
and the Stars”, “The Silver Tassie”, “Within the Gates”, dan “The Stars Turns Red”. Tokoh lainnya
adalah John Millington Synge (1871-1909)
dengan karya-karya “Riders to the Sea” dan “The Playboy of the
Western
World”. Synge Merupakan pelopor teater Irlandia yang mengangkat dunia teater
menjadi penting di sana.
Perancis
(dari Zola sampai Sartre)
Dua tokoh
terkemuka di Perancis adalah Emile Zola (1840-1902) dan Jean Paul Sartre
(1905). Karya-karya Emile Zola adalah “Therese Raquin” yang mirip “A Doll's
House”. Eugene Brieux (1858-1932), menulis naskah “Corbeaux” (The Vultures), “La Parisienne”
(The Woman of Paris), dan “Les Avaries” (Damaged Gods). Edmond Rostan
(1868-1918) dengan karya “Les Romanasques” (The Romancers) dan “Cyrano de
Bergerac”. Maurice
Materlinck
(1862-1949), dengan karyanya “Pelleas et Melisande” yang bercorak romantik.
Jean Giraudoux (1882-1944), dengan karyanya “Amphitryen 38” dan “La Folle de
Challiot” (The Madwoman of Challiot). Jean Giraudoux juga mengarang karya yang
sangat terkenal, yaitu “La Guerre de Troie N'aura pas Lieu” yang diproduksi
oleh Teater Broadway dengan judul "Tiger at the Gates". Di Indonesia
pernah dipentaskan oleh Darmanto Jt. dengan
judul "Perang Troya Tidak Akan Meletus", kisah tentang Hektor dan Helena.
Jean Cocteau (1891-…) dengan karyanya La Machine Internale. Di antara pengarang
selama Perang Dunia II, Jean Paul Sartre merupakan spotlight. Ia lahir pada
tahun 1905 dan merupakan tokoh aliran eksistensialisme. Karya-karyanya antara
lain “Huis Clos” (Ni Exit) dan “Les Mouches” (The Flies). Pengarang lainnya
adalah Jean Anaoulih (1910-…) dengan karyanya “Le Bal des Voleurs” (Thieve's
Carnivaly) dan “Antigone” (terjemahan
dari drama Sophocles).
Jerman
dan Eropa Tengah (Hauptman sampai Brecht)
Banyak
sekali sumbangan Jerman terhadap drama modern. Tokoh seperti Hebbel dan
temannya telah mempelopori aliran realisme. Penulis naturalis terkenal adalah
Gerhart Hauptman (1862-1946) dan Arthur Schnitzler (1862- 1931). Karya Hauptman
antara lain adalah “The Weavers”, “The Sunken Bell”, dan “Hannele”. Karya Schnitzler antara lain
“Liebelei”, “Anatol” dan “Reigen”. Pengarang
lainnya Fernc Molnar (1878-1952) dengan karya “The Play's the Thing”, “The
Guardsman”, dan “Liliom”. Karel Capek (1890-1938) dengan karya “The Insect
Comedy” yang ditulis bersama kakaknya Yosef. Bertolt Brecht (1898-1956) dengan
teaternya yang memiliki ciri-ciri an enthrailling, masterfull, achievment, energetic, forceful,
full of humor. Nama teaternya adalah Berliner Ensemble (ciri tersebut berarti
memikat, indah sekali, penuh prestasi, penuh energi, daya kekuatan yang tinggi,
dan penuh cerita humor).
Karya-karya
Brecht antara lain “Threepenny Opera”, “Mother Courage”, dan “The Good Woman Setzuan”. Berline Ensemble
sangat berpengaruh di masa sesudah Brecht.
Italia
(dari Goldoni sampai Pirandillo)
Setelah
zaman Renaissance, karya-karya drama banyak berupa opera disamping comedia
dell'arte. Tokoh drama Italia antara lain Goldoni (1707- 1793) dengan karyanya
“Mistress of the Inn”. Gabrielle D'Annunzio (1863- 1938) dan Luigi Pirandello
(1867-1936) dengan karyanya “Right You Are”, “If You Think You Are”, “As You
Desire Me”, “Henry IV”, “Naked”, “Six Charactersin Search of an Author”, dan
“Tonight We Improvise”.
Spanyol
(dari Benavente sampai Lorca)
Bagi
Spanyol, abad XX sebagai abad kebangkitan dramatic spirit. Tokohnya antara lain
Jacinto Benavente (1866-1954) yang pernah mendapat hadiah Nobel tahun 1922.
Yang terkenal di Amerika, adalah karyanya yang berjudul “Los Intereses Creados” (The Bonds of
Interest) dan “La Marquerida” (The Passion Flower). Sejaman dengan Benavente
adalah Gregorio Martinez Sierra (1881-1947)
dengan karyanya “The Cradle Song”. Pengarang paling penting
pada
jaman modern di Spanyol adalah penyair dan penulis drama Frederico garcia Lorca
(1889-1936). Dia dipandang sebagai orang yang dikagumi oleh penyair dan
dramawan W.S. Rendra. Karya Lorca antara lain adalah “Shoemaker's Prodigius Wife” dan “The House
of Bernarda Alba”
.
Rusia
(dari Pushkin sampai Andreyev)
Tzarina
Katerin Agung dipandang sebagai pengembang drama di Rusia. Pengarang pertama yang dipandang serius
adalah Alexander Pushkin (1799-1837) dengan karyanya “Boris Godunov”, Sebuah
tragedi historis. Nikolai Gogol (1809-1852), menulis antara lain “The Inspector
General”. Alexander Ostrovski (1823-1886) menulis “Enough Stupidity in Every
Wise Man”. Leo Tolkstoy (1828-1910) menulis “The Power of Darkness” Selanjutnya
Anton Pavlovich Chekov(1860-1904) sangat terkenal di Indonesia, dengan karyanya
yang
diterjemahkan menjadi "Pinangan" dan "Kebun Cherry" (The
Cherry Orchid). Pohon Cherry merupakan karya besar Chekov. Karya lainnya adalah “Uncle Vanya”, “The Sea Gull”, dan “The Three
Sisters”. Ada kualitas dan cirri yang sama dari karya Chekov, yaitu tragedi
senyap, hasrat, kerinduan, dan karakter yang hidup. Pengarang lain adalah Maxim
Gorki (1868-1936) dengan karyanya “The Lower Depth”. Leonid Andreyev
(1971-1919) dengan karyany
“The Live
of Man”, “King Hunger”, dan “He Who Gets Slapped”.
Amerika
(Godfrey sampai Miller)
Pengarang
drama yang paling awal di Amerika adalah Thomas Godfrey, dengan karya “The Prince of Parthia” (1767).
Harriet Beecher Stowe (1811- 1896) menulis “The Octoroon”. David Belasco
(1854-1931) menulis “The Girl of Goldent West”. Bronsin Howard (1842-1908) menulis
“Shenandoah”. JamesA. Henre (1839-1901).
• Perkembangan
Teater di Indonesia
Teater
Tradisional
Kasim
Achmad dalam bukunya Mengenal Teater Tradisional di Indonesia (2006)
mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum
Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tandabahwa unsur-unsur teater
tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional
merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat
dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut
“teater”, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan
suatu bentuk kesatuan teater
yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater
tersebut membentuk suatu senipertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat
dalam masyarakat lingkungannya.
Proses
terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi
dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur
pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda, tergantung kondisi dan sikap
budaya masyarakat, sumber dantata-cara di mana teater tradisional lahir.
Berikut ini disajikan beberapa bentuk teater tradisional yang ada di daerah-daerah
di Indonesia.
Wayang
Wayang
merupakan suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua dan dapat ditelusuri
bagaimana asal muasalnya. Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang
di Jawa, dapat kita temukan berbagai prasasti pada zaman raja Jawa, antara lain
pada masa Raja Balitung. Pada masa pemerintahan Raja Balitung, telah ada
petunjuk adanya pertunjukan wayang seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung
dengan tahun 907 Masehi. Prasasti
tersebut mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan
wayang.
Petunjuk
semacam itu juga ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Mpu
Kanwa, pada zaman Raja Airlangga dalam abad ke-11. Oleh karenanya
pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang sangat tua.
Sedangkan
bentuk wayang pada zaman itu belum jelas tergambar model pementasannya. Awal
mula adanya wayang, yaitu saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada tahun
930. Sang Prabu ingin mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar
yang kemudian dinamakan Wayang Purwa. Dalam gambaran itu diinginkan wajah para
dewa dan manusia Zaman Purba. Pada mulanya hanya digambar di dalam rontal (daun
tal).
Orang
sering menyebutnya daun lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang kulit
sebagaimana dikenal sekarang.
Wayang
Wong (Wayang Orang)
Wayang
Wong dalam
bahasa Indonesia artinya wayang orang, yaitu
pertunjukan
wayang kulit, tetapi dimainkan oleh orang. Wayang wong adalah bentuk teater
tradisional Jawa yang berasal dari Wayang Kulit yang dipertunjukan dalam bentuk
berbeda: dimainkan oleh orang, lengkap dengan menari dan menyanyi, seperti pada
umumnya teater tradisional dan tidak memakai topeng. Pertunjukan wayang
orangterdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan di Jawa Barat ada juga
pertunjukan wayang orang (terutama di
Cirebon) tetapi tidak begitu populer. Lahirnya
Wayang Orang, dapat diduga dari keinginan para seniman untuk keperluan
pengembangan wujud bentuk Wayang Kulit yang dapat dimainkan
oleh
orang. Wayang yang dipertunjukan dengan orang sebagai wujud dari wayang kulit
-hingga tidak muncul dalang yang memainkan, tetapi dapat dilakukan oleh para
pemainnya sendiri. Sedangkan wujud pergelarannya berbentuk drama, tari dan
musik. Wayang orang dapat dikatakan masuk kelompok seni teater tradisional,
karena tokoh-tokoh dalam cerita dimainkan oleh para pelaku (pemain). Sang
Dalang bertindak sebagai pengatur laku dan
tidak
muncul dalam pertunjukan. Di Madura, terdapat pertunjukan wayang orang yang
agak berbeda, karena masih menggunakan topeng dan menggunakan dalang seperti
pada wayang kulit. Sang dalang masih terlihat meskipun tidak seperti dalam
pertunjukan wayang kulit. Sang Dalang ditempatkan dibalik layar penyekat dengan
diberi lubang untuk mengikuti gerak pemain di depan layar penyekat. Sang Dalang
masih mendalang dalam pengertian semua ucapan pemain dilakukan oleh Sang Dalang
karena para pemain memakai topeng. Para pemain di sini hanya menggerak-gerakan badan atau tangan untuk mengimbangi ucapan
yang dilakukan oleh Sang Dalang. Para pemain harus pandai menari. Pertunjukan
ini di Madura dinamakan topeng dalang. Semua pemain topeng dalang
memakai topeng dan para pemain tidak mengucapkan dialog.
Makyong
Makyong
merupakan suatu jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan. Makyong yang paling tua terdapat di pulau
Mantang, salah satu pulau di daerah Riau. Pada mulanya kesenian Makyong berupa
tarian joget atau ronggeng. Dalam perkembangannya kemudian dimainkan dengan
cerita-cerita rakyat, legenda dan juga cerita-cerita kerajaan. Makyong juga
digemari oleh para bangsawan dan sultan-sultan, hingga sering dipentaskan di
istana-istana.
Bentuk
teater rakyat makyong tak ubahnya sebagai teater rakyat Madura dinamakan topeng
dalang. Semua pemain topeng dalang memakai topeng dan para pemain tidak
mengucapkan dialog. umumnya, dipertunjukkan dengan menggunakan media ungkap
tarian, nyanyian, laku, dan dialog dengan membawa cerita-cerita rakyat yang
sangat populer di daerahnya.
Cerita-cerita
rakyat tersebut bersumber pada sastra lisan Melayu. Daerah Riau merupakan
sumber dari bahasa Melayu Lama. Ada dugaan bahwa sumber dan akar Makyong
berasal dari daerah Riau, kemudian berkembang dengan baik di daerah lain.
Pementasan makyong selalu diawali dengan bunyi tabuhan yang dipukul
bertalu-talu sebagai tanda bahwa ada pertunjukan makyong dan akan segera
dimulai. Setelah penonton berkumpul, kemudian seorang pawang (sesepuh dalam
kelompok makyong) tampil ke tempatpertunjukan melakukan persyaratan sebelum
pertunjukan dimulai yang dinamakan upacara buang bahasa atau upacara
membuka tanah dan berdoa untuk memohon agar pertunjukan dapat berjalan
lancar.
Randai
Randai
merupakan suatu bentuk teater tradisional yang bersifatkerakyatan yang terdapat
di daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Sampai saat ini, randai masih hidup dan bahkan berkembang
serta masih digemari oleh masyarakatnya, terutama di daerah pedesaan atau di
kampung-kampung. Teater tradisional di
Minangkabau bertolak dari sastra lisan. begitu juga Randai bertolak dari sastra
lisan yang disebut “kaba” (dapat diartikan sebagai cerita). Bakaba artinya
bercerita.
Ada dua unsur
pokok yang menjadi dasar Randai, yaitu.
•
Pertama, unsur penceritaan. Cerita yang disajikan adalah kaba, dan
disampaikan
lewat gurindam, dendang dan lagu. Sering diiringi oleh alat musik tradisional
Minang, yaitu salung, rebab, bansi, rebana atau yang lainnya, dan juga lewat
dialog.
• Kedua,
unsur laku dan gerak, atau tari, yang dibawakan melalui galombang. Gerak tari yang digunakan bertolak dari
gerak-gerak silat tradisi Minangkabau, dengan berbagai variasinya dalam
kaitannya dengan gaya silat di masing-masing daerah.
Mamanda
Daerah
Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis kesenian antara lain yang
paling populer adalah Mamanda, yang merupakan teater tradisional yang bersifat
kerakyatan, yang orang sering menyebutnya sebagai teater rakyat. Pada tahun
1897 datang ke Banjarmasin suatu rombongan Abdoel Moeloek dari Malaka yang
lebih dikenal dengan Komidi Indra Bangsawan.
Pengaruh
Komidi Bangsawan ini sangat besar terhadap perkembangan teater tradisional di
Kalimantan Selatan. Sebelum Mamanda lahir, telah ada suatu bentuk teater rakyat
yang dinamakan Bada Moeloek, atau dari kata Ba Abdoel Moeloek. Nama teater
tersebut berasal dari judul cerita yaitu Abdoel Moeloek
karangan
Saleha.
Lenong
Lenong
merupakan teater rakyat Betawi. Apa yang disebut teater tradisional yang ada
pada saat ini, sudah sangat berbeda dan jauhberkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat lingkungannya,dibandingkan dengan lenong di zaman
dahulu. Kata daerah Betawi, dan bukan Jakarta, menunjukan bahwa yang
dibicarakan adalah teater masa lampau. Pada saat itu, di Jakarta, yang masih bernama Betawi (orang Belanda
menyebutnya: Batavia) terdapat empat jenis teater tradisional yang
disebut topeng Betawi, lenong, topeng blantek, dan jipeng atau jinong. Pada
kenyataannya keempat teater rakyat ersebut banyak persamaannya. Perbedaan
umumnya hanya pada cerita yang dihidangkan dan musik pengiringnya.
Longser
Longser
merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan dan terdapat di
Jawa Barat, termasuk kelompok etnik Sunda. Ada beberapa jenis teater rakyat di
daerah etnik Sunda serupa dengan longser, yaitu banjet. Adalagi di daerah
(terutama, di Banten), yang dinamakan ubrug. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
longser berasal dari kata melong (melihat) dan seredet (tergugah).
Artinya barang siapa melihat (menonton) pertunjukan, hatinya akan tergugah.
Pertunjukan longser sama dengan pertunjukan kesenian rakyat yang lain, yang
bersifat hiburan sederhana, sesuai
dengan sifat kerakyatan, gembira dan jenaka. Sebelum longser lahir, ada beberapa kesenian yang sejenis dengan
Ketoprak
Ketoprak
merupakan teater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan
daerah Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun dapat ditemukan ketoprak. Di
daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam
kehidupan mereka dan mengalahkan kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan
emprak. Pada mulanya ketoprak merupakan permainan orang-orang desa yang sedang
menghibur diri dengan menabuh lesung pada waktu bulan purnama, yang disebut gejogan.
Dalam perkembangannya menjadi suatu bentuk teater rakyat yang lengkap.
Ketoprak merupakan salah satubentuk teater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa
yang digunakan. Bahasa sangat memperoleh perhatian, meskipun yang digunakan
bahasa Jawa, namun harus diperhitungkan masalah unggahungguh bahasa.
Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat bahasa yangdigunakan, yaitu:
• Bahasa
Jawa biasa (sehari-hari)
• Bahasa
Jawa kromo (untuk yang lebih tinggi)
• Bahasa
Jawa kromo inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi)
Menggunakan
bahasa dalam ketoprak, yang diperhatikan bukan saja
penggunaan
tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang
disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan spesifik.
Ludruk
Ludruk
merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan di daerah Jawa Timur,
berasal dari daerah Jombang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dengan
dialek Jawa Timuran. Dalam perkembangannya ludruk menyebar ke
daerah-daerah sebelah baratseperti karesidenan Madiun, Kediri, dan sampai ke Jawa Tengah. Ciri-ciri bahasa
dialek Jawa Timuran tetap terbawa meskipun semakin ke barat makin luntur
menjadi bahasa Jawa setempat. Peralatan musik daerah yang digunakan, ialah
kendang, cimplung, jidor dan gambang dan
sering ditambah tergantung pada kemampuan grup yang memainkan ludruk tersebut.
Dan lagu-lagu (gending) yang digunakan, yaitu
Parianyar, Beskalan, Kaloagan, Jula-juli, Samirah, Junian. Pemain ludruk semuanya adalah pria. Untuk
peran wanitapun dimainkan oleh pria. Hal ini merupakan ciri khusus ludruk.
Padahal sebenarnya hampir seluruh teater rakyat di berbagai tempat, pemainnya
selalu pria (randai, dulmuluk, mamanda,
ketoprak), karena pada zaman itu wanita tidak diperkenankan muncul di depan
umum.
Gambuh
Gambuh
merupakan teater tradisional yang paling tua di Bali dan diperkirakan berasal
dari abad ke-16. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Bali kuno dan terasa
sangat sukar dipahami oleh orang Bali sekarang. Tariannya pun terasa sangat
sulit karena merupakan tarian klasik yang bermutu tinggi. Oleh karena itu
tidaklah mengherankan kalau gambuh merupakan sumber dari taritarian Bali yang
ada. Sejarah gambuh telah dikenal sejak abad ke-14 di Zaman Majapahit dan
kemudian masuk ke Bali pada akhir Zaman Majapahit. Di Bali, gambuh dipelihara di istana
raja-raja.
Kebanyakan
lakon yang dimainkan gambuh diambil dari struktur cerita Panji yang diadopsi ke
dalam budaya Bali. Cerita-cerita yang dimainkan di antaranya adalah Damarwulan,
Ronggolawe, dan Tantri. Peran-peran utama menggunakan dialog
berbahasa Kawi, sedangkan para punakawan berbahasa Bali. Sering pula para
punakawan menerjemahkan bahasa Kawi ke dalam bahasa Bali biasa. Suling dalam
gambuh yang suaranya sangat rendah, dimainkan
dengan teknik pengaturan nafas yang sangat sukar, mendapat tempat yang khusus
dalam gamelan yang mengiringi gambuh, yang sering disebut gamelan “pegambuhan”.
Gambuh mengandung kesamaan dengan “opera”
pada teater Barat karena unsur musik dan menyanyi mendominasi pertunjukan. Oleh
karena itu para penari harus dapat menyanyi. Pusat kendali gamelan dilakukan
oleh juru tandak, yang duduk di tengah gamelan dan berfungsi sebagai
penghubung antara penari dan musik. Selain dua atau empat suling, melodi
pegambuhan dimainkan dengan rebab bersama seruling. Peran yang paling penting dalam gamelan
adalah pemain kendang lanang atau disebut juga kendangpemimpin. Dia memberi
aba-aba pada penari dan penabuh.
Arja
Arja
merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan, dan terdapat di
Bali. Seperti bentuk teater tradisi Bali lainnya, arja merupakan bentuk teater yang
penekanannya pada tari dan nyanyi. Semacam gending yang terdapat di daerah Jawa
Barat (Sunda), dengan porsi yang lebih banyak diberikan pada bentuk nyanyian
(tembang).
Apabila ditelusuri, arja bersumber dari gambuh
yang disederhanakan unsurunsur tarinya, karena ditekankan pada tembangnya.
Tembang (nyanyian) yang digunakan memakai bahasa Jawa Tengahan dan bahasa Bali halus
yang disusun dalam tembang macapa.
Teater
Modern
Teater
Transisi
Teater
transisi adalah penamaan atas kelompok teater pada periode saat teater
tradisional mulai mengalami perubahan karena pengaruh budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong kelompok
teater tradisional dengan model garapan memasukkan unsur-unsur teknik teater
Barat, dinamakan teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak pada cerita yang
sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam wujud cerita ringkas atau outline
story (garis besar cerita per adegan). Cara penyajian cerita dengan
menggunakan panggung dan dekorasi. Mulai memperhitungkan teknik yang mendukung pertunjukan.
Pada periode transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater
non-tradisi. Selain pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional berkenalan
juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia
sekitar tahun 1805 yang kemudian berkembang hingga
di Betawi
(Batavia) dan mengawali berdirinya gedung Schouwburg pada tahun 1821 (Sekarang
Gedung KesenianJakarta).
Perkenalan
masyarakat Indonesia pada teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu
mendirikan Komedie Stamboel di Surabaya pada tahun 1891, yang pementasannya
secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa), yang pada saat itu masih belum menggunakan
naskah drama/lakon. Dilihat dari segi sastra, mulai mengenal sastra lakon
dengan diperkenalkannya lakon yang pertamayang ditulis oleh orang Belanda
F.Wiggers yang berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, pada tahun 1901. Kemudian disusul oleh Lauw
Giok Lan lewat Karina Adinda,
Lelakon
Komedia Hindia Timoer (1913), dan lain-lainnya, yang menggunakan bahasa
Melayu Rendah.
Setelah
Komedie Stamboel didirikan muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella
(The Malay Opera Dardanella) yang didirikan Willy Klimanoff alias A.
Pedro pada tanggal 21 Juni 1926. Kemudian lahirlah kelompok sandiwara lain,
seperti Opera Stambul,
Komidi
Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara
Tjahaja Timoer, dan lain sebagainya. Pada masa teater transisi belum
muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara. Karenanya rombongan
teater pada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan cerita yang
disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman
Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru
dikenal setelah Zaman
Kemerdekaan.
Teater
Indonesia tahun 1920-an
Teater
pada masa kesusasteraaan angkatan Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat
dari konteks sejarah teater modern Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari
sudut kesusastraan. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai
drama karena masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan.
Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum
intelektual dimasa itu karena penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras
terhadap kaum pergerakan sekitar tahun 1930-an. Bentuk sastra drama yang
pertamakali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog antar
tokoh dan berbentuk sajak adalah Bebasari (artinya kebebasan yang
sesungguhnya atau inti kebebasan) karya
Rustam Efendi (1926). Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi
pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini menceritakan perjuangan tokoh utama Bujangga,
yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane
menulis Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning Majapahit (1933)
Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Armiijn Pane
mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji
Tisna menjadi naskah drama. Nur
Sutan
Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil. Imam Supardi
menulis drama dengan judul Keris Mpu
Gandring. Dr.
Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu.
Lakon-lakon iniditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan
serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini
adalah cendekiawan Indonesia, menulis
dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
Bahkan Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan
menyutradarai teater di Bengkulu (saat di
pengasingan).
Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain, Rainbow, Krukut Bikutbi, dan
Dr. Setan.
Teater
Indonesia tahun 1940-an
Semua
unsur kesenian dan kebudayaan pada kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan
untuk mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara
sistematis di arahkan untuk menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang. Namun
demikian, dalam situasi yang sulit dan gawat serupa itu, dua orang tokoh, yaitu
Anjar Asmara dan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa perlu didirikan Pusat
Kesenian Indonesia yang bertujuan menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras
dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi – kreasi baru dalam
wujud kesenian nasional Indonesia. Maka pada tanggal 6 oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat
Kesenian Indonesia dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr.
Sumanang (Sekretaris), dan sebagai
anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjabana, dan Kama Jaya. Badan
Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di
antaranya dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan kesenian daerah menuju
kesenian Indonesia baru. Langkah-langkah
yang telah diambil oleh Badan Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita
kemajuan kesenian Indonesia, ternyata mengalami hambatan yang datangnya dari
barisan propaganda Jepang, yaitu Sendenbu yang membentuk badan perfilman
dengan nama Djawa Eiga Kosy’, yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya.
Intensitas kerja Djawa Eiga Kosya yang
ingin
menghambat langkah Badan Pusat Kesenian Indonesia nampak ketika mereka membuka
sekolah tonil dan drama Putra Asia, Ratu Asia, Pendekar Asia, yang
kesemuanya merupakan corong propaganda Jepang.
Dalam masa pendudukan Jepang kelompok rombongan sandiwara yang mula-mula
berkembang adalah rombongan sandiwara profesional. Dalam kurun waktu ini semua
bentuk seni hiburan yang berbau Belanda lenyap karena pemerintah penjajahan
Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling komersial, seperti misalnya
Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis
Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali
berkembang dengan mementaskan cerita dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Rombongan sandiwara
Bintang Surabaya tampil dengan actor dan aktris kenamaan, antara lain Astaman,
Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya. Pengarang
Nyoo Cheong
Seng,
yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini dalam rombongan
sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah
difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Merah Delima. Rombongan
Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan
cara lamaseperti pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, dan Bolero, yaitu di
antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak.
Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode show, dengan
peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik . Menyusul kemudian muncul
rombongan sandiwara Dewi Mada, dengan bintang-bintang eks Bolero, yaitu
Dewi Mada dengan suaminya Ferry Kok, yang
sekaligus sebagai pemimpinnya. Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih mengutamakan
tari-tarian dalam pementasan teatermereka karena Dewi Mada adalah penari
terkenal sejak masa rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang dipentaskan
antara lain, Ida Ayu, Ni Parini, dan Rencong Aceh. Hingga tahun
1943 rombongan sandiwara hanya dikelolapengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu
karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru
kemudian Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik dan membiayai rombongan
sandiwara Warna Sari. Keistimewaan rombongan sandiwara Warna Sari adalah
penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang keturunan
Filipina, yang terkenal sebagAi Raja Drum. Garsia menempatkan deretan drumnya
yang berbagai ukuran itu memenuhi lebih dari separuh panggung. Ia menabuh
drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik minat
penonton. Ceritacerita yang dipentaskan antara lain, Panggilan Tanah Air,
Bulan Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca,
Dewi Rani, dan lain sebagainya. Rombongan sandiwara terkenal lainnya adalah
rombongan sandiwara Sunda Mis Tjitjih, yaitu
rombongan sandiwara yang digemari rakyat jelata. Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini terpaksaberlindung di
bawah barisan propaganda Jepang dan berganti nama menjadi rombongan sandiwara
Tjahaya Asia yang mementaskan cerita-cerita baru untuk kepentingan propaganda
Jepang. Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya pada tanggal 6April 1943,
mendirikan rombongan sandiwara angkatan muda Matahari. Hanya kalangan terpelajar yang menyukai
pertunjukan Matahari yang menampilakan hiburan berupa tari-tarian pada awal
pertunjukan barukemudian dihidangkan lakon sandiwara dari awal hingga akhir.
Bentuk penyajian semacam ini di anggap kaku oleh penonton umum yang lebih suka unsure
hiburan disajikan sebagai selingan babak satu dengan babak lain sehingga akhirnya
dengan terpaksa rombongan sandiwara tersebut mengikuti selera penonton.
Lakon-lakon yang ditulis Anjar Asmara antara lain, Musim Bunga di Slabintana,
Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna, dan Jauh di Mata.
Kama Jaya menulis lakon antara lain, Solo di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek Engtay, Potong Padi. Dari semua
lakon tersebut ada yang sudah di
filmkan
yaitu, Solo di Waktu Malam dan Nusa Penida. Pertumbuhan sandiwara profesional tidak luput
dari perhatian Sendenbu. Jepang
menugaskan Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu
memprakarsai berdirinya POSD (Perserikatan Oesaha VSandiwara Djawa) yang
beranggotakan semua rombongan sandiwara profesional. Sendenbu menyiapkan naskah
lakon yang harus dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara karangan penulis
lakon Indonesia dan Jepang,
Kotot
Sukardi menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram,
Benteng Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu, lakon Nora karya
Henrik Ibsen diterjemahkan dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak Merpati oleh
Armijn Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki Tani. Oleh karena
ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis lengkap berikut dialognya. Para pemain tidak boleh menambah atau
melebih-lebihkan dari apa yang sudah ditulis dalam naskah. Sensor Sendenbu
malah menjadi titik awal dikenalkannya naskah dalam setiap pementasan
sandiwara.
Menjelang
akhir pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara yang melahirkan karya ssatra
yang berarti, yaitu Penggemar Maya (1944) pimpinan Usmar Ismail, dan D.
Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto,
Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah denganpara anggota cendekiawan muda, nasionalis dan para profesional (dokter,
apoteker, dan lain-lain). Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme,
humanisme dan agama. Pada saat inilah pengembangan ke arah pencapaian teater
nasional dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga untuk
ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan cita-cita menuju
humanisme dan religiositas dan memandang teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan.Bahwa
teori teater perlu dipelajari secara serius. Kelak, Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya
Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta.
Teater
Indonesia Tahun 1950-an
Setelah
perang kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman untuk
merenungkan
perjuangan dalam perang kemerdekaan, juga sebaliknya, mereka merenungkan
peristiwa perang kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai
kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan,
kepahlawanan
dan tindakan pengecut, keiklasan sendiri dan pengorbanan, dan lain-lain.
Peristiwa perang secara khas dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik (Emil
Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan
Akhir (Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik Hitam (Nasyah
Jamin, 1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin,
1959). Sementara ada lakon yang bercerita tentang kekecewaan paska
perang, seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi,
kemiskinan, Islam dan Komunisme, melalaikan penderitaan korban perang,
dan lain-lain. Tema itu terungkap dalam lakonlakon seperti Awal dan
Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953) karya Utuy Tatang
Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh Akhdiat Kartamiharja
(1956) berdasarkan The Man In Grey Suit karya Averchenko dan Hanya
Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karya John Galsworthy. Utuy
Tatang Sontani dipandang sebagai tonggak penting menandai awal dari maraknya
drama realis di Indonesia dengan lakon-lakonnya yang sering menyiratkan
dengan kuat alienasi sebagai ciri kehidupan moderen. Lakon Awal dan
Mira (1952) tidak hanya terkenal di Indonesia, melainkan sampai ke Malaysia.
Realisme konvensional dan naturalisme tampaknya menjadi pilihan generasi yang
terbiasa dengan teater barat dan dipengaruhi oleh idiom Hendrik Ibsen dan Anton
Chekhov. Kedua seniman teater Barat dengan idiom realisme
konvensional
ini menjadi tonggak didirikannya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada
tahun 1955 oleh Usmar Ismail dan Asrul Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan
realism dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti karya-
karya Moliere, Gogol, dan Chekov. Sedangkan
metode pementasan dan pemeranan yang dikembangkan oleh TNI adalah
Stanislavskian.
Menurut
Brandon (1997), ATNI inilah akademi teater modern yang pertama di Asia
Tenggara. Alumni Akademi Teater Nasional yang menjadi aktor dan sutradara
antara lain, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim
Achmad. Di Yogyakarta tahun 1955 Harymawan dan Sri Murtonomendirikan Akademi
Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI). Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS)
didirikan di Surakarta.
Teater
Indonesia Tahun 1970-an
Jim lim
mendirikan Studiklub Teater Bandung dan mulai mengadakan eksperimen dengan
menggabungkan unsur-unsur teater etnis seperti gamelan, tari topeng Cirebon,
longser, dan dagelan dengan teater Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim mulai
dikenal oleh para actor terbaik dan para sutradara realisme konvensional. Karya
penyutradaraanya, yaitu Awal dan Mira
(Utuy T. Sontani) dan Paman Vanya (Anton Chekhov). Bermain dengan akting realistis dalam lakon The
Glass Menagerie (Tennesse William, 1962), The Bespoke Overcoat (Wolf
mankowitz ). Pada tahun 1960, Jim Lim
menyutradari Bung Besar, (Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser,
teater rakyat Sunda.
Tahun
1962 Jim Lim menggabungkan unsur wayang kulit dan musik dalam karya
penyutradaraannya yang berjudul Pangeran Geusan Ulun (Saini KM., 1961). Mengadaptasi lakon Hamlet dan
diubah judulnya menjadi Jaka Tumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan gaya
realistis tetapi isinya absurditas pada lakon Caligula (Albert Camus,
1945), Badak-badak (Ionesco, 1960), dan Biduanita Botak (Ionesco,
1950). Pada tahun 1967 Jim Lim belajar teater dan
menetap
di Paris. Suyatna Anirun, salah satu aktor dan juga teman Jim Lim, melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim
yaitu mencampurkan unsure-unsur teater Barat dengan teater etnis.
Peristiwa
penting dalam usaha membebaskan teater dari batasan realism konvensional
terjadi pada tahun 1967, Ketika Rendra kembali ke Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yang
kemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak berdasarkan
naskah jadi (wellmade play)
seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula dari
improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian mulut tertentu atas suatu
tema yang diistilahkan dengan teater mini kata
(menggunakan
kata seminimal mungkin).
Pertunjukannya
misalnya, Bib Bop dan Rambate Rate Rata (1967,1968). Didirikannya
pusat kesenian Taman Ismail Marzuki oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta
tahun1970, menjadi pemicu meningkatnya aktivitas, dan kreativitas berteater
tidak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang,
Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain. Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67
(enam puluh tujuh) judul lakon yang ditulis oleh 17 (tujuh belas) pengarang
sandiwara, menyelenggarakan festival pertunjukan secara teratur, juga lokakarya
dan diskusi teater secara umum atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky tetapi
nama-nama seperti Brecht, Artaud dan Grotowsky juga diperbincangkan. Di
Surabaya muncul bentuk pertunjukan teater yang mengacu teater epic (Brecht) dengan idiom teater rakyat (kentrung
dan ludruk) melalui Basuki Rahmat, Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir
(Bengkel Muda Surabaya,
Teater
Lektur, Teater Mlarat Malang). Di Yogyakarta Azwar AN mendirikan teater Alam.
Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa mendirikan Teater Muslim. Di Padang ada
Wisran Hadi dengan teater Padang. Di Makasar,
Rahman Arge dan Aspar Patturusi mendirikan Teater Makasar. Lalu Teater Nasional
Medan didirikan oleh Djohan A Nasution dan Burhan Piliang. Tokoh-tokoh teater yang muncul tahun 1970-an
lainnya adalah, Teguh Karya (Teater
Populer), D. Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater
Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi Kurdi
(Teater Hitam Putih). ArifinC. Noor (Teater Kecil) dengan gaya pementasan yang kaya irama dari blocking,
musik, vokal, tata cahaya, kostum dan verbalisme naskah. Putu Wijaya (teater
Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal keras.
Menampilkan
manusia sebagai gerombolan dan aksi. Fokus tidak terletak pada aktor tetapi
gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai
teater teror. N. Riantiarno (Teater Koma) dengan cirri pertunjukan
yangmengutamakan tata artistik glamor.
Teater Indonesia Tahun 1980 – 1990-an
Tahun
1980-1990-an situasi politik Indonesia kian seragam melalui
pembentukan
lembaga-lembaga tunggal di tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan politik
kampus sebagai akibat peristiwa Malari 1974. Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan.
Dalam latar situasi seperti itu lahir beberapa kelompok teater yang sebagian
merupakan produk festival teater. Di Jakarta dikenal dengan Festival Teater
Jakarta (sebelumnya disebut Festival Teater Remaja).
Beberapa
jenis festival di unsur pertunjukan yang lain. Dengan demikian, wilayah jelajah ekspresi menjadi semakin luas
dan kemungkinan bentuk garap semakin banyak. Sanggar Suroboyo. Di Semarang
muncul Teater Lingkar. Di Medan muncul Teater Que dan di Palembang muncul
Teater Potlot. Dari Festival Teater
Jakarta muncul kelompok teater seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam
menghadapi naskah yaitu posisinya sejajar dengan caracara pencapaian idiom
akting melalui eksplorasi latihan. Ada pula Teater Luka, Teater Kubur, Teater Bandar Jakarta, Teater
Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio Oncor, dan Teater Kami yang lahir di
luar produk festival (Afrizal Malna,1999).
Aktivitas
teater terjadi juga di kampus-kampus perguruan tinggi. Salah satu teater kampus
yang menonjol adalah teater Gadjah Mada dari Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta. Jurusan teater dibuka di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
pada tahun 1985. ISI menjadi satu-satunya perguruan tinggi seni yang memiliki
program Strata 1 untuk bidang seni teater pada saat itu. Aktivitas teater
kampus mampu menghidupkan dan membuka kemungkinan baru gagasan-gagasan
artistik.
Teater
Kontemporer Indonesia
Teater
Kontemporer Indonesia mengalami perkembangan yang sangat membanggakan. Sejak
munculnya eksponen 70 dalam seni teater,
kemungkinan ekspresi artistik dikembangkan dengan gaya khas masingmasing
seniman. Gerakan ini terus berkembang sejak tahun 80-an sampai saat ini. Konsep
dan gaya baru saling bermunculan. Meksipun seni teater konvensional tidak
pernah mati tetapi teater eksperimental terus juga tumbuh.
Semangat
kolaboratif yang terkandung dalam seni teater dimanfaatkan secara optimal
dengan menggandeng beragam Yogyakarta, di antaranya Festival Seni Pertunjukan
Rakyat yang diselenggarakan Departemen Penerangan Republik Indonesia (1983). Di
Surabaya ada Festival Drama Lima Kota yang digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq
Dimyati dan Mukid F. Pada saat itu
lahirlah kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia. Di
Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater Gandrik. Teater
Gandrik menonjol dengan warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional
kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di masyarakat menjadi
bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar Seret, Meh,
Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden,
dan Orde Tabung. Di Solo
(Surakarta) muncul Teater Gapit yang menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita
yang meniru lingkungan kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu lakonnya berjudul
Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada juga Teater Gidaggidig. Di Bandung muncul Teater Bel, Teater
Re-publik, dan Teater Payung Hitam. Di Tegal lahir teater RSPD. Festival Drama
Lima Kota Surabaya memunculkan Teater Pavita, Teater Ragil, Teater Api, Teater
Rajawali, Teater Institut, Teater Tobong, Teater No
Tidak ada komentar:
Posting Komentar