MENILAI KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN KARYA SASTRA
PEMBAHASAN SOAL UN 2016/2017 BAHASA INDONESIA SMA/MA NOMOR 27
KALIMAT YANG MENYATAKAN KEUNGGULAN KARYA SASTRA
Soal di atas menanyakan kalimat komentar yang menyatakan keunggulan sesuai dengan kutipan cerpen. Jika dikaitkan dengan kisi-kisi UN 2017/2018 termasuk ke ruang lingkup materi membaca sastra level penalaran. Kompetensi yang diuji adalah menilai keunggulan/kelemahan karya sastra/ mampu menunjukkan keunggulan cerita dengan tepat.
BACA BEDAH KISI-KISI UN 2017/2018 BAHASA INDONESIA SMA/MA
Kalimat komentar yang menyatakan keunggulan sesuai dengan kutipan cerpen di atas adalah latar suasana dan latar waktu saling mendukung untuk menghadirkan cerita yang lebih menarik (jawaban E). Latar suasana yang digambarkan yaitu angin kencang berembus, hawa dingin, mencekam, lolongan anjing. Latar waktu adalah malam hari. Gabungan antara latar suasana dan waktu tersebut menciptakan cerita yang menarik.
Jawaban A kurang tepat karena kurang lengkap menyebutkan kelebihan pada kutipan yaitu hanya mengungkapkan kelebihan berdasarkan latar suasana. Jawaban B tidak tepat karena berisi kelemahan karya sastra. Jawaban C kurang tepat karena dalam cerita tidak terdapat dialog. Jawaban D kurang tepat karena alasan yang digunakan (bahasa sehari-hari) bukan penyebab kemenarikan cerita.
Menilai keunggulan dan kelemahan karya sastra artinya menyampaikan kelebihan dan kekurangan karya sastra. Aspek yang dinilai dalam karya sastra adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra.
Berkaitan dengan penilaian, maka timbullah berbagai pertanyaan, “Bagaimanakah karya sastra yang bernilai?”; syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi supaya karya sastra dapat dikatakan bernilai? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus menghubungkan arti dan hakikat karya sastra serta fungsinya. Suatu nilai tidak dapat dipisahkan dari hakikat dan gunanya. Sering hal ini menyebabkan orang menilai karya sastra menyimpang dari hakikat dan fungsi karya sastra, atau melakukan kepalsuan dalam menilai karya sastra sebagai karya seni, hanya menjadi alat propaganda, yang sama nilainya dengan teks pidato.
Hadimadja (1952) mengemukakan bagaimana H.B. Jasssin menyaring sajak-sajak yang diterimanya, maka syarat pertama yang dilakukan ialah kepada keindahan, kemudian pada moral. Baik keindahan maupun moral keduanya subjektif. Oleh karena itu, menurut Hadimadja berkaitan penerimaan H.B.Jassin menjawab bahwa “sebuah keindahan seni biasanya tidak perlu menuntut pengertian yang diletakkan dalam hasil seni itu. Apabila keindahan terasa, cukuplah bagi si pendengar atau si peninjau untuk menerimanya. Akan tetapi bila pengertian itu didapatnya, maka lebih senanglah dia”.
Dalam menjawab bagaimana baik buruknya sajak, Hadimadja menggunakan perasaan intuitif sehingga tidak ada ketentuan apakah dasar-dasar konkret untuk menentukan indah tidaknya karya sastra. Hadimadja tidak menganalisis hubungan nilai, hakikat sastra, dan fungsi seni sastra sehingga jawabannya sangat subjektif dan tidak jelas. Padahal hubungan nilai, hakikat sastra, dan fungsi sangat penting dalam menilai karya sastra, sebagaimana yang dinyatakan oleh Rene Wellek bahwa “bagaimana orang menilai dan menentukan nilai sastra? Harus kita jawab dengan definisi-definisi. Seharusnya orang menilai seni sastra apa adanya; dan menaksir nilai itu menurut kadar sastra, hakikat, fungsi, dan penilaian erat hubungannya.”
Untuk mengetahui apakah hakikat seni sastra, Pradopo menjawab bahwa kita terlebih dahulu meninjau definisi sastra. Adapun definisi sastra yang dikutip oleh Pradopo dalam bukunya Prinsip-prinsip Kritik Sastra,sebagaimana berikut ini.
1. Sastra (castra) dari bahasa Sansekerta yang artinya tulisan atau bahasa yang indah: yakni hasil ciptaan bahasa yang indah. Jadi kesusastraan ialah pengetahuan mengenai hasil seni bahasa perujudan getaran jiwa dalam bentuk tulisan (Gazali, 1958). Sementara itu, arti seni bagi Gazali ialah segala sesuatu yang indah. Keindahan yang menimbulkan kesenangan yang dapat menggetarkan sukma, yang menimbulkan keharuan, kemesraan, kebencian, atau peradangan hati, gemas, dan dendam.
2. Kesusastraan = kumpulan buku-buku yang indah bahasa dan baik isinya. Oleh karena itu, kesusastraan itu adalah seni bahasa yang meliputi (a) kepandaian seni yang dipergunakan orang, jika ia hendak menyatakan yangseni, indah, dan permai dengan bahasa sebagai alatnya (Simorangkir, 1959).
3. Hasil pekerjaan pengarang dan penyair itu dinamakan kesusastraan atau seni sastra. Kesusastraan adalah cabang dari kesenian dan kesenian seperti itu kita maklum bagian dari kebudayaan. Di samping itu, kesusastraan pokok katanya sastra (castra. Skt) = tulisan atau bahasa; su (Skt); indah, bagus . . . susastra = bahasa yang indah, maksudya hasil ciptaan bahasa yang indah atau seni bahasa. Kesusastraan mendapat awalan dan akhiran (ke-an). Yang dimaksud dengan kesusastraan ialah hasil kehidupan jiwa yang terjelma dalam tulisan atau bahasa tulis yang menggambarkan atau mencerminkan peristiwa kehidupan masyarakat atau anggota masyarakat.” ( Usman, 1960).
4. Kesusastraan atau kesenian bahasa atau seni sastra adalah “kesenian” suatu bangsa dalam melahirkan pikiran, perasaan, dan kemauan dengan bahasa sebagai alatnya. Kesenian adalah keindahan-keindahan yang terkandung atau tersembunyi di dalam “kebudayaan” dan berjiwa kecantikan.” (Suparlan, 1959). Di samping itu Suparlan membagi kesusastraan menjadi dua bagian, yaitu kesusastraan umum dan kesusastraan khusus Kesusastraan umum adalah “pendek, segala buah pikiran, buah pena yang berwujud cerita dongeng, surat-surat, isi kitab ilmu pengetahan yang sudah menjadi milik satu bangsa”; kesusastraan khusus, yang mempergunakan bahasa kesusastraan, ialah bahasa yang indah, bahasa pilihan dapat membuat pembacanya atau pendengarnya terharu, baik karena pilihan-pilihan susun katanya maupun disebabkan susunan jiwa kalimat-kalimatnya.
5. Kata kesusastraan adalah kata pinjaman. Diambil dari bahasa Sanskerta. Artinya: segala yang tertulis yang menerbitkan rasa senang disebabkan keindan kata-kata dan susunannya serta ketepatannya dengan yang diperkatakan. Bahasa yang tertulis itulah kesusastraan, tetapi tidak semua bahasa tulis dinamakan kesusastraan, yang isinya merupakan ilmu pengetahuan tidak termasuk kesusastraan. Warta berita yang serupa dengan itu pun tidak termasuk kesusastraan. Kata seni menunjukkan bahwa pemakaian bahasa harus berkesan keindahan bagi si pembaca atau si pendengar (Sitompul, 1954).
6. Dalam Theory of Literature, Rene Wellek mengemukakan ada tiga definisi, pertama, seni sastra ialah segala sesuatu yang dicetak; kedua, seni sastra terbatas pada buku-buku yang terkenal, dari sudut isi dan bentuknya. Artinya definisi ini bercampur dengan penilaian, dan penilaian itu hanya didasarkan pada segi estetiknya saja atau segi intelektualnya saja; ketiga, Rene Wellek mengatakan agaknya lebih baik jika isilah “kesusastraan” dibatasi pada seni sastra yang bersifat imaginative, sifat imaginative ini menunjukkan dunia anagan dan khayalan hingga kesusastraan berpusat pada epik, lirik, dan drama karena ketiganya itu yang ditunjuk adalah dunia angan. Dengan begitu, kesusastraan mengakui adanya sifat fictionaly, (sifat menghayalkan), invention (penemuan atau penciptan), dan imagination (mengandung kekuatan menyatukan angan untuk mencipta) sebagai hakikat seni sastra. Fictionalydi sini menunjukkan dunia khayalan, artinya dunia yang adanya hanya karena khayalan sastrawan, bukan dunia yang nyata, yang sungguh-sungguh ada. Invention, menunjukkan pengertian adanya penemuan-penemuan yang baru akibat pengkhayalan, jadi ini adanya keaslian cipta. Sedangkan imagination menunjukkan adanya daya mengangankan dan menyatukan sesuatu yang baru, yang asli, untuk menghasilkan dunia angan. Karya sastra dengan begitu, Rene Wellek mengungkapkan ialah karya-karya yang fungsi estetiknya dominan.
Karya sastra yang bermutu seni adalah kaya sastra yang imaginatif dan yang seni. Dalam arti karya sastra yang bermutu ialah karya sastra yang banyak menunjukkan adanya penciptaan-penciptaan baru (kreativitas) dan keaslian cipta, di samping itu yang bersifat seni. Sementara ini dipergunakan istilah “seni” bukan kata “indah”, karena pada zaman sekarang pemakaian kata “indah” itu rasanya tidak cocok dengan keadaan kesusastraan sekarang, kemudian keindahan itu bukan lagi tujuan penciptan sastra. Oleh karena itu, Herbert Read berpendapat bahwa : . . . karena seni tidak perlu indah; hingga tak dapat dikatakan begitu diributkan. Apakah kita menilai persoalan itu menurut sejarah, maupun secara kemasyarakatan, kami dapati bahwa seni sering tidak punya keindahan atau bukan barang yang indah.”
Demikian pula apa yang dikatakan oleh Leo Tolstoy bahwa keindahan (beauty) bukan tujuan seni, karena “ . . . orang akan sampai kepada pengertian bahwa arti makan terletak pada pemberian zat-zat makanan pada tubuh, hanya bila mereka tidak menganggap lagi bahwa objek dari aktivitas tersebut adalah kesenangan. Dan ini sama halnya dengan kesenian. Orang akan sampai kepada pengertian arti seni hanya bila mereka berhenti menganggap bahwa tujuan aktivitas itu adalah keindahan, ialah kesenangan. Pengakuan keindahan ialah sebagai tujuan seni, tak hanya menganggalkan kita untuk mendapatkan jawaban apakah seni itu, tetapi sebaliknya dengan memindahkan pertanyaan itu ke daerah lain yang sangat berlainan dengan seni, tak mungkin hal itu memberikan definisi.” Dengan demikian, indah menurut sementara pendapat sudah tidak dapat dipakai sebagai kreteria karya seni (sastra) karena itu lebih baik dipakai kata atau istilah “seni” untuk menyatakan sifat-sifat estetik karya sastra.
Arti indah tidak dapat meliputi atau mencakup keseluruhan arti seni karena dalam pengertian seni ada unsur lainnya, yaitu pengalaman jiwa yang bersifa “seni” juga, karena dapat berhasil diungkapkan dengan indah. Untuk pengalaman jiwa yang seni ini biasanya disebut sublim atau agung. Jadi, dalam perkataan seni itu terkandung arti indah dan agung, besar atau sublim. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tjernisvcki bahwa jika estetika dimaksudkan ilmu seni, maka sudah tentu ia harus berbicara tentang sublim karena daerah seni meliputi kesubliman. Sublim menurut Tjernisvcki keindahan dan kesubliman adalah dua pengertian sama sekali berbeda yang memiliki ciri-ciri “lebih besar dan lebih kuat”. Memang sering para ahli estetika kesubliman itu disatuartikan dengan keindahan, disebut difficult beauty, dan di samping itu ada easy beauty (keindahan mudah) didapat dari bahan yang mudah (bunyi indah, kenangan indah, dan sebagainya), dan difficult beauty (sublimes, keindahan sukar) atau keindahan yang mengandung, kesakitan, keburukan (Rene Wellek, 1978).
Berdasarkan beberapa pendapat tentang apa itu kesusastraan, apa itu indah dan seni, maka dalam hal ini jawaban yang ditawarkan bahwa karya sastra bernilai seni bila di dalamnya terdapat sifat seni, yaitu yang mengandung keindahan dan kesubliman. Sifat indah, sublim dan besar itu kian banyak yang terdapat dalam karya sastra, dan kian banyak menunjukkan daya cipta dan keaslian cipta, maka makin tinggi nilai seninya. Sementara menilai karya sastra berdasarkan fungsinya, haruslah dipakai kreteria hakikatnya yaitu menyenangkan dan berguna. Hal ini sejalan apa yang diuraikan oleh Darma bahwa Horace (baca Horatius) menganggap, karya seni yang baik, termasuk sastra selalu memenuhi dua kreteria, yaitu dulce et utile (rasa nikmat dan manfaat atau kegunaan). Tentu saja kenikmatan ini hanya dimiliki oleh pembaca yang bermutu. Sastra harus memberi manfaat atau kegunaan, yaitu kekayaan batin, wawasan kehidupan (insight into life), dan moral.
Masalah moral akhirnya menimbulkan berbagai pertanyaan yang ujungnya menyangkut kreativitas. Pengarang menulis tidak lain untuk menciptakan karya sastra yang estetis. Sementara itu, pembaca yang kritis akan merasa digurui. Moral dengan demikian, dapat mengurangi nilai estetis, dan karena itu mengganggu kenikmatan pembaca. (http://kritiksastraindonesia.blogspot.co.id/2014/10/penilaian-dalam-karya-sastra.html)
KALIMAT YANG MENYATAKAN KEUNGGULAN KARYA SASTRA
Kunci Jawaban: E
Pembahasan Soal di atas menanyakan kalimat komentar yang menyatakan keunggulan sesuai dengan kutipan cerpen. Jika dikaitkan dengan kisi-kisi UN 2017/2018 termasuk ke ruang lingkup materi membaca sastra level penalaran. Kompetensi yang diuji adalah menilai keunggulan/kelemahan karya sastra/ mampu menunjukkan keunggulan cerita dengan tepat.
BACA BEDAH KISI-KISI UN 2017/2018 BAHASA INDONESIA SMA/MA
Kalimat komentar yang menyatakan keunggulan sesuai dengan kutipan cerpen di atas adalah latar suasana dan latar waktu saling mendukung untuk menghadirkan cerita yang lebih menarik (jawaban E). Latar suasana yang digambarkan yaitu angin kencang berembus, hawa dingin, mencekam, lolongan anjing. Latar waktu adalah malam hari. Gabungan antara latar suasana dan waktu tersebut menciptakan cerita yang menarik.
Jawaban A kurang tepat karena kurang lengkap menyebutkan kelebihan pada kutipan yaitu hanya mengungkapkan kelebihan berdasarkan latar suasana. Jawaban B tidak tepat karena berisi kelemahan karya sastra. Jawaban C kurang tepat karena dalam cerita tidak terdapat dialog. Jawaban D kurang tepat karena alasan yang digunakan (bahasa sehari-hari) bukan penyebab kemenarikan cerita.
RINGKASAN MATERI
MENILAI KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN KARYA SASTRAMenilai keunggulan dan kelemahan karya sastra artinya menyampaikan kelebihan dan kekurangan karya sastra. Aspek yang dinilai dalam karya sastra adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra.
Berkaitan dengan penilaian, maka timbullah berbagai pertanyaan, “Bagaimanakah karya sastra yang bernilai?”; syarat-syarat apakah yang harus dipenuhi supaya karya sastra dapat dikatakan bernilai? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus menghubungkan arti dan hakikat karya sastra serta fungsinya. Suatu nilai tidak dapat dipisahkan dari hakikat dan gunanya. Sering hal ini menyebabkan orang menilai karya sastra menyimpang dari hakikat dan fungsi karya sastra, atau melakukan kepalsuan dalam menilai karya sastra sebagai karya seni, hanya menjadi alat propaganda, yang sama nilainya dengan teks pidato.
Hadimadja (1952) mengemukakan bagaimana H.B. Jasssin menyaring sajak-sajak yang diterimanya, maka syarat pertama yang dilakukan ialah kepada keindahan, kemudian pada moral. Baik keindahan maupun moral keduanya subjektif. Oleh karena itu, menurut Hadimadja berkaitan penerimaan H.B.Jassin menjawab bahwa “sebuah keindahan seni biasanya tidak perlu menuntut pengertian yang diletakkan dalam hasil seni itu. Apabila keindahan terasa, cukuplah bagi si pendengar atau si peninjau untuk menerimanya. Akan tetapi bila pengertian itu didapatnya, maka lebih senanglah dia”.
Dalam menjawab bagaimana baik buruknya sajak, Hadimadja menggunakan perasaan intuitif sehingga tidak ada ketentuan apakah dasar-dasar konkret untuk menentukan indah tidaknya karya sastra. Hadimadja tidak menganalisis hubungan nilai, hakikat sastra, dan fungsi seni sastra sehingga jawabannya sangat subjektif dan tidak jelas. Padahal hubungan nilai, hakikat sastra, dan fungsi sangat penting dalam menilai karya sastra, sebagaimana yang dinyatakan oleh Rene Wellek bahwa “bagaimana orang menilai dan menentukan nilai sastra? Harus kita jawab dengan definisi-definisi. Seharusnya orang menilai seni sastra apa adanya; dan menaksir nilai itu menurut kadar sastra, hakikat, fungsi, dan penilaian erat hubungannya.”
Untuk mengetahui apakah hakikat seni sastra, Pradopo menjawab bahwa kita terlebih dahulu meninjau definisi sastra. Adapun definisi sastra yang dikutip oleh Pradopo dalam bukunya Prinsip-prinsip Kritik Sastra,sebagaimana berikut ini.
1. Sastra (castra) dari bahasa Sansekerta yang artinya tulisan atau bahasa yang indah: yakni hasil ciptaan bahasa yang indah. Jadi kesusastraan ialah pengetahuan mengenai hasil seni bahasa perujudan getaran jiwa dalam bentuk tulisan (Gazali, 1958). Sementara itu, arti seni bagi Gazali ialah segala sesuatu yang indah. Keindahan yang menimbulkan kesenangan yang dapat menggetarkan sukma, yang menimbulkan keharuan, kemesraan, kebencian, atau peradangan hati, gemas, dan dendam.
2. Kesusastraan = kumpulan buku-buku yang indah bahasa dan baik isinya. Oleh karena itu, kesusastraan itu adalah seni bahasa yang meliputi (a) kepandaian seni yang dipergunakan orang, jika ia hendak menyatakan yangseni, indah, dan permai dengan bahasa sebagai alatnya (Simorangkir, 1959).
3. Hasil pekerjaan pengarang dan penyair itu dinamakan kesusastraan atau seni sastra. Kesusastraan adalah cabang dari kesenian dan kesenian seperti itu kita maklum bagian dari kebudayaan. Di samping itu, kesusastraan pokok katanya sastra (castra. Skt) = tulisan atau bahasa; su (Skt); indah, bagus . . . susastra = bahasa yang indah, maksudya hasil ciptaan bahasa yang indah atau seni bahasa. Kesusastraan mendapat awalan dan akhiran (ke-an). Yang dimaksud dengan kesusastraan ialah hasil kehidupan jiwa yang terjelma dalam tulisan atau bahasa tulis yang menggambarkan atau mencerminkan peristiwa kehidupan masyarakat atau anggota masyarakat.” ( Usman, 1960).
4. Kesusastraan atau kesenian bahasa atau seni sastra adalah “kesenian” suatu bangsa dalam melahirkan pikiran, perasaan, dan kemauan dengan bahasa sebagai alatnya. Kesenian adalah keindahan-keindahan yang terkandung atau tersembunyi di dalam “kebudayaan” dan berjiwa kecantikan.” (Suparlan, 1959). Di samping itu Suparlan membagi kesusastraan menjadi dua bagian, yaitu kesusastraan umum dan kesusastraan khusus Kesusastraan umum adalah “pendek, segala buah pikiran, buah pena yang berwujud cerita dongeng, surat-surat, isi kitab ilmu pengetahan yang sudah menjadi milik satu bangsa”; kesusastraan khusus, yang mempergunakan bahasa kesusastraan, ialah bahasa yang indah, bahasa pilihan dapat membuat pembacanya atau pendengarnya terharu, baik karena pilihan-pilihan susun katanya maupun disebabkan susunan jiwa kalimat-kalimatnya.
5. Kata kesusastraan adalah kata pinjaman. Diambil dari bahasa Sanskerta. Artinya: segala yang tertulis yang menerbitkan rasa senang disebabkan keindan kata-kata dan susunannya serta ketepatannya dengan yang diperkatakan. Bahasa yang tertulis itulah kesusastraan, tetapi tidak semua bahasa tulis dinamakan kesusastraan, yang isinya merupakan ilmu pengetahuan tidak termasuk kesusastraan. Warta berita yang serupa dengan itu pun tidak termasuk kesusastraan. Kata seni menunjukkan bahwa pemakaian bahasa harus berkesan keindahan bagi si pembaca atau si pendengar (Sitompul, 1954).
6. Dalam Theory of Literature, Rene Wellek mengemukakan ada tiga definisi, pertama, seni sastra ialah segala sesuatu yang dicetak; kedua, seni sastra terbatas pada buku-buku yang terkenal, dari sudut isi dan bentuknya. Artinya definisi ini bercampur dengan penilaian, dan penilaian itu hanya didasarkan pada segi estetiknya saja atau segi intelektualnya saja; ketiga, Rene Wellek mengatakan agaknya lebih baik jika isilah “kesusastraan” dibatasi pada seni sastra yang bersifat imaginative, sifat imaginative ini menunjukkan dunia anagan dan khayalan hingga kesusastraan berpusat pada epik, lirik, dan drama karena ketiganya itu yang ditunjuk adalah dunia angan. Dengan begitu, kesusastraan mengakui adanya sifat fictionaly, (sifat menghayalkan), invention (penemuan atau penciptan), dan imagination (mengandung kekuatan menyatukan angan untuk mencipta) sebagai hakikat seni sastra. Fictionalydi sini menunjukkan dunia khayalan, artinya dunia yang adanya hanya karena khayalan sastrawan, bukan dunia yang nyata, yang sungguh-sungguh ada. Invention, menunjukkan pengertian adanya penemuan-penemuan yang baru akibat pengkhayalan, jadi ini adanya keaslian cipta. Sedangkan imagination menunjukkan adanya daya mengangankan dan menyatukan sesuatu yang baru, yang asli, untuk menghasilkan dunia angan. Karya sastra dengan begitu, Rene Wellek mengungkapkan ialah karya-karya yang fungsi estetiknya dominan.
Karya sastra yang bermutu seni adalah kaya sastra yang imaginatif dan yang seni. Dalam arti karya sastra yang bermutu ialah karya sastra yang banyak menunjukkan adanya penciptaan-penciptaan baru (kreativitas) dan keaslian cipta, di samping itu yang bersifat seni. Sementara ini dipergunakan istilah “seni” bukan kata “indah”, karena pada zaman sekarang pemakaian kata “indah” itu rasanya tidak cocok dengan keadaan kesusastraan sekarang, kemudian keindahan itu bukan lagi tujuan penciptan sastra. Oleh karena itu, Herbert Read berpendapat bahwa : . . . karena seni tidak perlu indah; hingga tak dapat dikatakan begitu diributkan. Apakah kita menilai persoalan itu menurut sejarah, maupun secara kemasyarakatan, kami dapati bahwa seni sering tidak punya keindahan atau bukan barang yang indah.”
Demikian pula apa yang dikatakan oleh Leo Tolstoy bahwa keindahan (beauty) bukan tujuan seni, karena “ . . . orang akan sampai kepada pengertian bahwa arti makan terletak pada pemberian zat-zat makanan pada tubuh, hanya bila mereka tidak menganggap lagi bahwa objek dari aktivitas tersebut adalah kesenangan. Dan ini sama halnya dengan kesenian. Orang akan sampai kepada pengertian arti seni hanya bila mereka berhenti menganggap bahwa tujuan aktivitas itu adalah keindahan, ialah kesenangan. Pengakuan keindahan ialah sebagai tujuan seni, tak hanya menganggalkan kita untuk mendapatkan jawaban apakah seni itu, tetapi sebaliknya dengan memindahkan pertanyaan itu ke daerah lain yang sangat berlainan dengan seni, tak mungkin hal itu memberikan definisi.” Dengan demikian, indah menurut sementara pendapat sudah tidak dapat dipakai sebagai kreteria karya seni (sastra) karena itu lebih baik dipakai kata atau istilah “seni” untuk menyatakan sifat-sifat estetik karya sastra.
Arti indah tidak dapat meliputi atau mencakup keseluruhan arti seni karena dalam pengertian seni ada unsur lainnya, yaitu pengalaman jiwa yang bersifa “seni” juga, karena dapat berhasil diungkapkan dengan indah. Untuk pengalaman jiwa yang seni ini biasanya disebut sublim atau agung. Jadi, dalam perkataan seni itu terkandung arti indah dan agung, besar atau sublim. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tjernisvcki bahwa jika estetika dimaksudkan ilmu seni, maka sudah tentu ia harus berbicara tentang sublim karena daerah seni meliputi kesubliman. Sublim menurut Tjernisvcki keindahan dan kesubliman adalah dua pengertian sama sekali berbeda yang memiliki ciri-ciri “lebih besar dan lebih kuat”. Memang sering para ahli estetika kesubliman itu disatuartikan dengan keindahan, disebut difficult beauty, dan di samping itu ada easy beauty (keindahan mudah) didapat dari bahan yang mudah (bunyi indah, kenangan indah, dan sebagainya), dan difficult beauty (sublimes, keindahan sukar) atau keindahan yang mengandung, kesakitan, keburukan (Rene Wellek, 1978).
Berdasarkan beberapa pendapat tentang apa itu kesusastraan, apa itu indah dan seni, maka dalam hal ini jawaban yang ditawarkan bahwa karya sastra bernilai seni bila di dalamnya terdapat sifat seni, yaitu yang mengandung keindahan dan kesubliman. Sifat indah, sublim dan besar itu kian banyak yang terdapat dalam karya sastra, dan kian banyak menunjukkan daya cipta dan keaslian cipta, maka makin tinggi nilai seninya. Sementara menilai karya sastra berdasarkan fungsinya, haruslah dipakai kreteria hakikatnya yaitu menyenangkan dan berguna. Hal ini sejalan apa yang diuraikan oleh Darma bahwa Horace (baca Horatius) menganggap, karya seni yang baik, termasuk sastra selalu memenuhi dua kreteria, yaitu dulce et utile (rasa nikmat dan manfaat atau kegunaan). Tentu saja kenikmatan ini hanya dimiliki oleh pembaca yang bermutu. Sastra harus memberi manfaat atau kegunaan, yaitu kekayaan batin, wawasan kehidupan (insight into life), dan moral.
Masalah moral akhirnya menimbulkan berbagai pertanyaan yang ujungnya menyangkut kreativitas. Pengarang menulis tidak lain untuk menciptakan karya sastra yang estetis. Sementara itu, pembaca yang kritis akan merasa digurui. Moral dengan demikian, dapat mengurangi nilai estetis, dan karena itu mengganggu kenikmatan pembaca. (http://kritiksastraindonesia.blogspot.co.id/2014/10/penilaian-dalam-karya-sastra.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar